Sejak Komjen Pol Susno Duadji diberhentikan sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal pada November 2009, aroma perseteruan antarperwira berbintang di markas polisi mulai ditebar. Aroma ini semakin kuat tatkala Komjen Susno Duajdi (SD) melakukan manuver-manuver dengan sasaran jenderal-jenderal di kepolisian.
Serangan pertama SD adalah kehadiran beliau sebagai saksi meringankan kasus Antasari Azhar dalam persidangan di PN Jakarta Selatan pada 7 Januari 2010. Dalam kesaksiannya, SD menghantam Irjen Hadiatmoko dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) dengan mengatakan bahwa sebagai Kabareskrim dirinya tak dilibatkan dalam tim yang menangani kasus Antasari. Kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen ditangani oleh Wakabareskrim Irjen Hadiatmoko, yang langsung langsung bertanggungjawab di bawah Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD). Serangan pertama SD ini disambut dengan kemarahan institusi Polri bahwa SD sudah melanggar kode etik karena tidak meminta izin ke Kapolri untuk hadir dalam persidangan Antasari Azhar.
Manuver kedua SD dilakukan ketika ia diminta hadir dalam Pansus Centry. Lagi-lagi Komjen SD menyerang institusi Polri. Meskipun topik Pansus adalah tentang Century, namun SD berbicara panjang lebar pengkambinghitaman dirinya dalam kisruh “Cicak vs Buaya”, tentang kriminalisasi Bibit S R dan Chandra M Hamzah. SD yang sudah terlanjur ‘berdosa” dalam kisruh “Cicak vs Buaya” berusaha membersihkan bercak dosanya melalui Testimoni Susno Duadj. Disana tercantum ketidakbecusan Kapolri BHD dalam ‘menjilat’ Presiden SBY.
Dua manuver alias ‘kartu truf’ ala SD diatas setidaknya menjadi ‘hidangan pembuka’ bagi masyarakat untuk memberi simpati kepada Pak Susno. Kehadiran SD dalam dua peristiwa penting yang disorot media (Antasari dan Century) dimanfaatkan dengan baik Susno. Susno tampil sebagai ‘pembela’ kebenaran, Susno tampil melawan arus institusi Kepolisian yang tidak kredibel di mata masyarakat, Susno berusaha tampil sebagai “pahlawan’ bagi masyarakat. Berbagai kesempatan ‘dialog’, wawancara, pers conference dimanfaatkan Susno. Dengan menyerang institusi Kepolisian yang bobrok, simpati masyarkat mulai mengalir. Dimata sebagian masyarakat, Susno menjadi “polisi hebat, bersih’ diantara “polisi yang kotor”. Dalam hal ini, Susno sudah menang bermanuver melawan atasannya Kapolri BHD dan sejawatnya (bintang-bintang di Mabes Polri).
Big Maneuver
Meskipun tidak ada jaminan dirinya bersih sebagai “Polisi Berbintang”, Susno berani membuka kartu truf lain yang fenomenal yakni kasus mafia pajak. Sebuah kasus ‘borok’ yang begitu bobrok di tubuh Dirjen Pajak, sub Departemen dibawah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang melibatkan banyak petinggi Polri, konsultan pajak dan wajib pajak. Tidak tanggung-tanggung, manuver kali ini membuat SD semakin frontal berhadapaan dengan banyak mantan koleganya.
Akibat peluit mafia pajak, Susno harus menerima kenyataan 2 kali diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri , sebelum akhirnya ditetapkan sebagai terperiksa. Ketika dipanggil untuk ketiga kalinya akhir pekan lalu, Susno menolak hadir. Tindak-tanduk Susno yang menantang membuat panas banyak jenderal. Kapolri BHD sempat berkeras tak mau menindaklanjuti laporan Susno soal dugaan makelar kasus dalam kasus pencucian uang oleh pegawai Direktorat Pajak, Gayus Tambunan. BHD baru melunak setelah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menemuinya dan BHD akhirnya mengakui bahwa memang ada kejanggalan dalam penyidikan kasus Gayus Tambunan.
Dalam kasus Gayus Tambunan, Susno kembali mendapat skor kemenangan. Apa yang disampaikan “Whislter-blower” ini ternyata benar adanya. Benar bahwa terjadi kongkalikong aparat kepolisian hingga kejaksaan dalam kasus penyimpangan wajib pajak yang ditangani oleh Gayus Tambunan. Susno semakin fenomenal, tatkala dirinya hadir dalam rapat kerja Komisi III DPR. Dihadapan para anggota Komisi III DPR RI, Susno mengatakan siap mati untuk menegakkan kebenaran dalm membuka kasus praktik mafia kasus di tubuh Polri.
Mabes Polri bukannya tidak berbuat apa pun untuk meredam Susno. Pertengahan Maret 2010 silam, para jenderal melakukan pertemuan di sebuah hotel di kawasan Mahakam, tak jauh dari Mabes Polri. Di sana para jenderal dan komisaris besar dari angkatan 1977 ini membujuk Susno agar tak bikin ramai di luar institusi. Susno saat itu tak banyak bicara. “Dia hanya bilang akan mempertimbangkan masukan kami,” kata Edward (Tempo).
Tapi tampaknya Susno tak peduli. Dalam berbagai kesempaan di media, Susno mengaku akan terus membongkar kebobrokan institusi kepolisian sebagai tanda “ia mencintai Polri”. Kesiapan membongkar kebobrokan Porli telah disusun secara matang. Sebagai mantan Kabareskrim, Susno sudah menghitung semua risikonya termasuk mempersiapkan “senjata” pamungkas dokumen yang tersimpan dalam 3 brankas. Susno tentunya akan mengeluarkan senjatanya tersebut ketika dia terpojok.
Dokumen 3 brankas ini mencuak ketika Mabes Polri gencar mencari kesalahan Susno. Sangatlah mungkin bahwa selama lebih 3 dekade di tubuh Polri, Susno pasti melakukan tindakan yang tidak bersih. Susno bukanlah polisi yang benar-benar polisi bersih. Meski tampaknya Susno merupakan jenderal polisi yang lebih bersih dan berani, tidak tertutup kemungkinan Susno termasuk polisi yang tidak bersih. Berbagai dugaan “dosa-dosa” Susno selama menjabat di Trunojoyo beredar. Soal kepemilikan rumahnya yang sampai 16 buah, kasus-kasus korupsi yang disetop penyidikannya selama dia menjabat Kabareskrim, sampai tudingan dia “memelihara” makelar kasus sendiri merupakan serangan balik dari Mabes Polri.
Susno Duadji Ditangkap!
Pada 12 April 2010 sore, whistle – blower kasus mafia pajak – Gayus Tambunan ditangkap (ditahan) oleh polisi Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI di Bandar Udara Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Singapura untuk medical check up (mcu). Susno ditangkap dengan tuduhan melanggar disiplin internal Polri (Detiknews), lebih tepatnya melakukan perjalanan ke Singapura tanpa izin pimpinan Polri (Yahoo).
Penangkapan (penahanan) Susno merupakan puncak kegeraman Mabes Polri atas aksi-aksi nakal Susno. Selama ini Susno dituduh lalai menjalankan tugasnya sebagai anggota polisi dengan mangkir lebih dari dua bulan. Susno juga dianggap melakukan pencemaran terhadap institusi tempat ia bekerja.
Dari segi internal Kepolisian, tindakan Susno menyebar aib institusinya ke mana-mana merupakan tidak etis sebagai prajurit Polri. Susno mestinya membenahi dari dalam, bukan justru mengumbar keburukan institusinya keluar. Sebagai seorang yang pernah menduduki jabatan tinggi di Mabes Polri, Susno sebenarnya memiliki kesempatan untuk memperbaiki institusinya. Namun ia tidak melakukannya dan bahkan malah sempat mencoreng citra polisi ketika ia melemparkan kontroversi Cicak-Buaya.
Barulah ketika ia dipecat dari jabatan Kabareskrim, Susno muncul seperti ‘bayi baru lahir”. Setelah keluar dari Kabareskrim, Susno justru berkoar atas bobroknya institusi Polri. Susno membeberkan adanya mafia di tubuh Polri. Hal yang sangat berbeda ketika ia menjabat Kabareskrim Polri. Ketika hadir dalam RDP Komisi III tentang Kriminalisasi pimpinan KPK, Susno menyatakan dan menjamin bawah tidak ada mafia ditubuh Kabareskrim Polri. Hal yang sangat kontradiksi pasca jabatannya lengser. Dari sini, kita bisa melihat motif dari seorang Susno Duadji. Karena ia dilempar dari kursi Kabareskrim meskipun ia sudah berusaha melindungi bobrok Polri, maka bagi Susno yang sudah tersingkirkan lebih baik membongkar semua kebusukan. Susno tidak ingin dia sendiri mendapat getah.
Dengan bermodal informasi dalam kasus Antasari, Century dan mafia pajak Gayus Tambunan, Susno berada diatas angin. Informasi yang disampaikan Susno kepada Satgas Mafia Hukum ternyata benar dan bahkan mampu mengungkapkan persengkongkolan besar yang merugikan keuangan negara. Polisi, jaksa, dan kemungkinan besar hakim ikut dalam pengaturan kasus Gayus Tambunan sehingga yang bersangkutan hanya dikenai hukuman percobaan, meski merugikan negara hingga Rp 28 miliar.
Pada awalnya baik polisi maupun jaksa menyangkal ikut dalam persengkongkolan kasus Gayus. Namun akhirnya polisi memberhentikan beberapa anggotanya termasuk Kapolda Lampung Brigjen Edmond Ilyas. Sementara Kejaksaan meski malu-malu dan yang tidak masuk akal menilai jaksa seniornya tidak cermat melakukan penuntutan, melepas jabatan beberapa jaksa seperti Cirus Sinaga. Dari kasus Gayus kemudian terungkap beberapa kasus lain yang lebih besar di Direktorat Jenderal Pajak. Bahkan muncul perkiraan, kerugian negara akibat permainan orang-orang pajak bisa mencapai Rp 140 triliun.
Guliran informasi Susno tidak hanya berhenti di situ. Di depan anggota Komisi III DPR, Susno mengungkap makelar kasus yang lebih kakap karena ia adalah orang yang mempunyai akses di kejaksaan dan kepolisian dan dekat dengan pejabat tinggi di institusi tersebut. Dari mulut Susno muncul nama Syahrir Djohan yang pernah menjadi staf khusus Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dekat dengan mantan Wakapolri Komjen Makbul Padmanagara.
Beruntunglah, Susno Duadji Ditangkap
Ditangkapnya (lebih tepatnya ditahan) Susno Duadji oleh Propam Mabes Polri di Bandara Soekarna Hatta merupakan momen yang menguntungkan bagi Susno Duajdi. Terlebih media sempat meliput detik-detik penahanan Susno. Manuver-manuver Susno dalam membongkar kasus mafia perpajakan, persidangan Antasari dan kisruh Polri vs KPK, telah memberi kesan simpati masyarakat kepada SD. Bahkan tidak sedikit masyarakat menganggap keberanian Susno yang berani membongkar kebobrokan institusi Polri sebagai tindakan pahlawan. Apalagi, selama ini lembaga Polisi mendapat citra yang begitu buruk dalam memberi pelayaan publik.
Meskipun noda hitam yang melekat pada dirinya ketika kisruh “cicak vs buaya”, namun gebrakan whistle-blower dalam kasus pajak Gayus Tambunan + petunjuk pada mega skandal mafia perpajakan di tubuh Polri membuat mayoritas masyarakat berdiri dibelakang Susno. Dan Susno tentu tahu benar bahwa masyarakat kita akan memberi dukungan kepada mereka yang ‘sedikit berani kepada penguasa’ dan paling penting dalam posisi terzalimin.
Ditahannya Susno Duadji ketika akan berangkat ke Singapura untuk ‘berobat’ (apapun alasannya), merupakan salah satu puncak keemasan manuver Susno dalam memanfaatkan kemarahan (atau lebih tepatnya kebodohan) Mabes Polri. Ditahannya Susno justru membuat dukungan masyarakat kepada Susno akan semakin meningkat. Tentu kredit poin yang diterima Susno ini berbanding terbalik dengan Kapolri BHD. Dengan pengaruh media, maka nama Kapolri akan semakin buruk. Desakan masyarakat agar presiden SBY untuk mencopot Kapolri BHD dan mereformasi tubuh kepolisian akan semakin santer terdengar. Apabila pemerintah SBY kurang dapat memanage kemarahan masyarakat kepada kepolisian dan institusi pemerintah (mafia pajak), maka kredibilitas pemerintahan SBY akan menurun.
Disaat itulah, mayoritas masyarakat akan mengelu-elukan Susno Duadji yang terzalimin diangkat menjadi Kapolri atau Ketua KPK. Namun, apakah usaha Susno Duadji merebut kursi KPK atau Kapolri berhasil?
Jawabannya sangat tergantung pada dukungan politik di parlemen. Dan tentu saja, konstelasi politik di parlemen dan manuver Susno Duadji merupakan masalah sangat serius bagi keberlangsungan bagi pemerintahan SBY. Karena sangat mungkin, Susno Duadji bersama ‘tim’-nya memiliki kartu truf yang akan menghancurkan citra Presiden SBY atau sebaliknya.
Bisa dikatakan, pasca ditangkap di Bandara Soekarno Hatta, praktis Susno Duajdi memegang kartu truf Kapolri BHD bahkan SBY sekaligus. Kasus Susno bukan lagi masalah Susno dengan institusi Polri (Kapolri BHD), namun sudah masuk area Susno’ers vs SBY’ers. Semua pihak dibelakang itu sudah siap-siap bermanuver, mencari dukungan politik melalui media massa, masyarakat dan parlemen. Oleh sebab itu, maka saya simpulkan bahwa ditangkapnya di Bandara Soekarno Hatta ketika akan berangkat “berobat”, merupakan buah manis dari manuver Susno alias menguntungkan.
Baca Selengkapnya >>