Tuesday, November 2, 2010

ALL ABOUT KRAKATOA

Krakatau adalah gunung berapi yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Gunung berapi ini pernah meletus pada tanggal 26 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat. Suara letusan Gunung Krakatau sampai terdengar di Alice Springs, Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.
Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.

Gunung Krakatau Purba

Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
"Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera".
Pakar geologi B.G. Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.
Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Munculnya Gunung Krakatau
Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Rakata yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-28 Agustus 1883.

Letusan Gunung Krakatau

Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, meledaklah gunung itu. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geoghrapic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluh-lantakkan dalam sejarah manusia moderen. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 peduduk bumi saat itu.
Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. Sedangkan buku The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.
Selain itu, ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencavai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.
Akibat letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.
Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung layar di Pulai Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

Anak Krakatau

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Kakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya selitar 20 inchi per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tiggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitu, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak rakata mencapai 7.500 inchi atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.
Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan in bakal terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.
Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya.

Sumber : Majalah Hidayatullah edisi Agustus 2006. Disadur dari Wikipedia

 

Peta Krakatau Sebelum Letusan Dahsyat Thn 1883

 

Oleh Robert Manurung

“Kami menyusuri pesisir Anyer yang tenang dan pantainya dipenuhi pohon kelapa,”tulis Forbes. “Kemudian muncullah pemandangan yang menakjubkan itu, Krakatau yang perkasa bersaput awan. Aku tak pernah bisa melupakan pemandangan itu, apalagi sebulan kemudian Krakatau meletus.”
Peta Krakatau Sebelum dan Setelah Meletus, Agustus 1883
Oleh : Robert Manurung
ANAK KRAKATAU, boleh jadi, memang tidak segalak “emaknya” yang meletus 26 Agustus 1883– menimbulkan tsunami yang menewaskan 36.000 orang, dan abu vulkaniknya menutupi matahari selama berbulan-bulan. Buktinya, biar pun Anak Krakatau mulai sering batuk-batuk; masyarakat tetap berpakansi dengan santai di Pantai Anyer, Banten, akhir pekan lalu.
Memang, peristiwa meletusnya Krakatau sudah jauh di belakang kita. Selama kurun waktu 125 tahun, telah terjadi sedikitnya lima kali pergantian generasi, dihitung dari bayi yang lahir pada tahun meletusnya gunung di Selat Sunda itu. Tidak ada lagi cerita lisan yang dituturkan dari kakek ke cucunya; barangkali karena setiap generasi memiliki “letusan dahsyat” tersendiri.
Ya, takluknya Belanda yang sudah menjajah selama 3,5 abad, dan tampilnya orang-orang kate sebagai penjajah baru; gegap gempita kemerdekaan;dan kemudian banjir darah pada akhir tahun 60-an; bukankah itu rentetan “letusan” yang amat dahsyat ? Wajarlah jika rakyat di sekitar Selat Sunda, yang memisahkan Banten dengan Lampung, tidak lagi tertarik dengan kisah usang Krakatau. Apalagi bangsa kita kan terkenal sebagai penderita amnesia sejarah. Ingatan bangsa kita pendek sekali.
Nah, supaya kita tidak ikut-ikutan menderita amnesia sejarah; mari kita lihat dua peta berikut ini yang menggambarkan keadaan Krakatau sebelum meletus dan setelahnya. Peta ini adalah koleksi Cornell University, Amerika Serikat; dibuat pada Agustus 1883 oleh Henry O Forbes; hanya beberapa minggu setelah gunung itu meletus.
Forbes, naturalist Inggris, mengunjungi Pulau Jawa pada bulan Juli 1883–setelah berkelana di Asia sejak tahun 1878. Dalam perjalanan pulang ke Eropa, kapal yang ditumpanginya menempuh rute lewat India. Kapal bertolak dari Batavia pada 9 Juli 1883, kemudian melewati Selat Sunda menuju India.
“Kami menyusuri pesisir Anyer yang tenang dan pantainya dipenuhi pohon kelapa,”tulis Forbes. “Kemudian muncullah pemandangan yang menakjubkan itu, Krakatau yang perkasa bersaput awan. Aku tak pernah bisa melupakan pemandangan itu, apalagi sebulan kemudian Krakatau meletus.”
Forbes inilah yang kemudian membuat peta Krakatau sebelum dan sesudah letusan dahsyat itu, sehingga kita bisa membandingkannya dan kemudian membayangkan betapa hebatnya letusan tersebut. Silakan lihat dan simpulkan sendiri :
Peta Krakatau Sebelum Meletus
rakata1.jpg

Peta Krakatau Setelah Meletus
rakata2.jpg
Catatan :
Krakatau meletus 26 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat.
Suara letusan Gunung Krakatau sampai terdengar di Alice Springs, Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. (sumber : Wikipedia)
www.ayomerdeka.wordpress.com


Kesaksian Letusan Krakatau 1883

 

Gw peringatkan buat yang mo baca, ini bakalan panjang.. (apalagi baca artikel aslinya..)
Siap-siap rokok ato permen buat nemenin baca.. Hehe..

Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu.

Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

"Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu."

"Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih."

"Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal..."

"Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras. Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi."

"Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu.
Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras..."

Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api

"Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-tanda kehidupan di kota kecil itu..."

"Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon sempat melakukan manouvre untuk menghindar, sehingga gelombang itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung..."

"Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung kini hanya air belaka..."

"Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan..."

"Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter."

"Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya.
Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut..."

Api Santo Elmo
"Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa terbakar."

"Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan 'api' itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk."

"Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai."

"Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap.
Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega."

"Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung."

"Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali. Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap."

 

"Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut."

"Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian..."

"Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan
lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak
tanda-tanda kehidupan..." "Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang."

Hujan Lumpur
"Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang berada di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak mendengar dentuman-dentuman itu."

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak jauh.


 


 

 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...